Pengunjung

View My Stats

Sunday 14 July 2013

Pergulatan Koperasi Zaman Kolonial : Sepuluh Tahun Koperasi (1930-1940)

Sepuluh Tahun Koperasi (1930-1940) ialah buku yang ditulis oleh RM Margono Djoyohadikusumo dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1941. Buku karya kakek Prabowo Subiantp ini sengaja dihidupkan kembali karena dianggap relevan dengan system ekonomi kerakyatan yang sudah ditinggalkan Indonesia. 

“Bagi saya, keberadaan koperasi sangat penting karena dapat menjadi bagian dari lembaga yang mengatur perekonomian berdasarkan semangat kekeluargaan dan gotong royong sesuai Pasal 33 UUD 1945,” kata Prabowo dalam acara peluncuran buku Sepuluh Tahun Koperasi (1930-1940) di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kemarin, bertepatan dengan hari Koperasi 12 Juli. 


Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu menambahkan, saat ini Indonesia mulai meninggalkan koperasi lantaran dianggap berbau “kiri”. Padahal, Koperasi sudah lama dikenal sebagai saka guru perekonomian bangsa. “Melalui koperasi, masyarakat secara riil dan bersama-sama dapat menciptakan dan memperoleh keuntungan dan kesempatan kerja yang lebih besar,” tegas. Prabowo. 

 Margono lahir pada tanggal 16 Mei 1894 di Purwokerto, Jawa Tengah dan meninggal 25 Juli 1978. Pada zaman colonial Belanda, ia pernah menjadi pegawai Djawatan Perkreditan Rakyat, kemudian menjadi Jawatan Koperasi. 

Sistem yang mumpuni 

Rentang 1930-1940 merupakan periode sulit pemerintah Hindia Belanda karena terpuruknya perekonomian. Dalam masa-masa itulah Margono memelopori tumbuhnya gerakan koperasi yang ia ceritakan dalam buku setebal 136 halaman ini. Pada halaman 26, ia menceritakan pemerintah Hindia Belanda menganggap koperasi sebagai system yang mumpuni untuk menopang perekonomian. Hal itu terlihat dari UU Koperasi Belanda tahun 1876 yang kemudian diganti dengan UU Koperasi 1925. Aturan ini kemudian diadopsi di Indonesia pada tahun 1933. 

Fadli Zon, yang menerbitkan kembali buku ini, menyatakan buku ini bukan sekadar pengamatan dari belakang meja, melainkan, jelas politikus Partai Gerindra itu, refleksi atas pengalaman Margono yang bergulat dengan persoalan kredit rakyat dan koperasi dalam praktik kehidupan sehari-hari. Sebagai perkumpulan, Faldi menilai koperasi mampu meletakkan dasar kerja sama, sukarela, serta kesetaraan hak dan kewajiban antar anggota. 

Selain itu, koperasi juga mendidik rakyat untuk menolong diri sendiri dan meningkatkan kepercayaan menghadapi kolonial Belanda. “Koperasi yang diuraikan Margono memainkan posisi penting bagi perekonomian rakyat di masa colonial. Karena, sejarah mencatat perlawanan politik saja tak cukup menghadapi kolonialisme,” katanya. Ketika kemerdekaan masih sebatas angan yang diperjuangkan, orang harus bergulat dengan persoalan perut. “Karena itu, koperasi menjadi bagian sejarah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia,” jelas Fadli. 

Turut hadir dalam peluncuran buku ini dua mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdulah dan Darmin Nasution. Dalam menanggapi buah pemikiran Margono, Burhanuddin mengatakan koperasi merupakan solusi jitu untuk meminimalisasi kesenjangan pendapatan di Indonesia. Karena itu, ia berharap pertumbuhan koperasi yang saat ini berjumlah sekitar 194.000 unit dapat terus digenjot. 

Adapun, Darmin menyatakan masyarakat harus diberdayakan dalam usaha meningkatkan perekonomian. “Koperasi harus mampu mengajak masyarakat berpikir terencana karena pembangunan bukan sekadar menyerap anggaran, tetapi juga melibatkan masyarakat,” ujarnya. (Rudy Policarpus / Media Indonesia)

0 comments:

Post a Comment